SINOPSIS
Manusia harus saling mengingatkan kepada kebaikan karena hutan, gunung, sawah, dan lautan hanya bisa mengingatkan kita kepada mantan.
Demi itu buku ini ada. Tapi, aku tak ingin mendudukkanmu sebagai pembaca, aku mau mengajakmu duduk sebagai teman ngobrol.
Banyak jalan menuju Roma, tapi tak ada yang sepasti setiap jalan menuju takdir. Saat dipamiti adik atau anak ke sekolah, kita menjelma sebagai kakak atau orang tua. Bertemu teman kuliah atau sejawat kantor, mendadak kita menjadi sohib atau saingan. Sepernano detik yang lalu kamu kekasihnya dan kini malah menjadi mantannya.
Begitulah. Hidup selalu bergerak seperti kisah-kisah Talijiwo yang hendak aku obrolkan kepadamu. Aku akan mendengarmu. Dengar aku juga. Siapa tahu setiap kata yang kuobrolkan, mengandung senandung untuk kita nyanyikan berdua.
Please, tak perlu lagi keluh kesah itu. Hidup hanya mengolah keluhan menjadi senandung. Heuheuheu.
Duh, kawasan berpohon-pohon sulastri. Pohon yang tingginya bisa mencapai 30 meteran ini konon berasal dari Langenharjo, pemandian Sri Susuhunan Paku Buwono X.
Seluruh perempuan di sana rupa-rupa wajah dan tata rambutnya. Nano-nano. Namun, serupa dalam kata dan perbuatan. Perbuatan dan tutur-kata mereka rupanya anu banget sehingga mendudukkan diri mereka sendiri untuk nggak cucuk kalau disakiti.
Itu saking tingginya harga tindak-tanduk dan lambe mereka. Bertindak dan bertanduk menawarkan tasbih kayu sulastri ke para wisatawan saja cara mereka menawan.
“Ini kayu sulastri, Pak. Tapi tak seperti mitosnya. Ini bukan pengasihan agar istri Bapak semakin mencintai Bapak,” tutur mereka. Pun dengan cara menawan. “Tapi jika Bapak berkenan, tasbih kayu sulastri yang lembut ini akan membuat Bapak tak tebersit sezarah debu pun untuk berbuat kasar ke perempuan.”
“Dan itu yang akan membuat istriku semakin takluk, Nduk?” Sastro tertunduk. Senyumnya simpul.
“Tapi sejatinya aku ini belum punya istri, Nduk …”
Penjaja itu terperangah, walau samar-samar. Sangat samar sehingga di-zoom in secanggih apa pun perangahannya tak bakal ter-cyduk.
“Walau masih bujangan, aku ini pemimpin daerah, Nduk,” tutur Sastro, wisatawan yang disapa “si bapak” itu. “Aku akan menerbitkan perda di daerahku: Laki-laki hanya boleh menangis ketika menyesal karena di masa lalu sudah menyakiti apalagi sampai memutus ceweknya. Tangisan di luar alasan itu dinyatakan ilegal. Tangisan karena takut bom adalah tangis ilegal. Dan lain-lain tangis yang tak perlu. Polisi-Airmata akan memantau ini…”
Jendrowati “si penjual tasbih sulastri” hanya bisa tunduk. Ia pilin-pilin ujung rambutnya yang dikelabang dan dijatuhkan di dada kanan. Keningnya, tentu saja, agak mengernyit. Pasalnya, di kawasannya sendiri Jendro tak pernah menyaksikan ada laki-laki yang sampai tega menyakiti apalagi bablas memutus perempuan pasangannya. Padahal ...
Suka tak suka, di kedai cinta selalu ada pertemuan yang ditutup dengan perpisahan. Pertemuannya sup miso yang mirip mi bakso. Perpisahannya mochi. Walau manis, mochi itu menu penutup, Kekasih.
Yang kerap Jendro saksikan malah sebaliknya. Lelaki-lelaki mengaku bahwa yang membuat perempuan di sini menjadi tak patut untuk disakiti adalah para perempuan itu sendiri. Cara mereka membuat alis dan membikin kopi. Cara mereka dengan halus menolak tawaran untuk dibonceng. Berdiri di trotoar, mereka menolak tawaran itu sambil membungkuk melekap roknya yang dikibar-kibarkan angin trotoar agar pahanya tak tersingkap. Duh!
“Kok diam?” Sastro dengan hati-hati membelah kesunyian.
“Ehm ... Oh, enggak, Pak ... Nggak papa,” Jendro gelagapan. Sehelai rambut yang dipilinnya copot satu, meliuk-liuk diterbangkan angin. “Kalau tangis perempuan di daerah Bapak bagaimana, Pak?” Jendro menemukan cara agar kekikukannya tak terlalu kentara. “Apakah di sana ada juga perempuan yang tangisnya ilegal, Pak?”
Lelaki dengan paduan belah dagu dan leher yang gagah itu agak lama menerawang langit sampai akhirnya mantuk-mantuk bertopang dagu ke tangan, “Hmmm ... Boleh aku menggeser duduk ke dekatmu?”
Jendro antara mengangguk dan tidak.
Di dalam cinta, Kekasih, banyak yang tersengat tanpa penyengatnya tewas setelah meninggalkan jejak seperti tawon, Kekasih.
Setelah mendekat dan menyeruput kopi lanang, Sastro melanjutkan obrolan. Wajahnya tepat dan dekat berhadap-hadapan dengan wajah Jendro. “Di sana, seluruh tangis perempuan, dengan alasan apa pun, akan kunyatakan legal.”
“Wowww ...,” Jendro melonjak dari bangkunya dengan kepal kedua tangan di dada. “Eh, Pak ... Di sana saya boleh menangis bahagia ketika diputus laki-laki karena yakin kelak lelaki itu akan menyesal telah memutus saya, seperti laki-laki yang nyesel memutus Lady Gaga sebelum ia terkenal?”
“Boleh ... Boleh ... Itu tangis yang legal.”
“Serius, Pak?”
“Serius, Jendro. Tetapi tindakan legal itu tak akan pernah kamu lakukan ...”
“?”
“Sebab, sejak malam ini, aku berjanji tak akan pernah memutusmu. Sangat tak layak bagi aku untuk memutus perempuan seperti dirimu.” (*)
Beragam kumbang datang kepada kembang untuk bercerita.
Tak satu pun di antara kembang itu yang menuntut happy ending, Kekasih.
Yang penting, tokoh-tokohnya mengucapkan cinta dengan suara semerdu getar sayap kumbang.
Mungkin gagal adalah cara manusia menamai hasil yang sesuai kehendak-Nya,
tetapi tak sesuai keinginannya, Kekasih.
Suaramu serak-serak manja.
Kamu bertanya, apa yang sedang kulakukan suatu saat ketika membayangkan-bayangkan suaramu, Kekasih.
Saat mengkhayalkan suaramu itu aku mewajahkan nyanyianmu di kertas gambar hingga ibuku bertanya,
“Apakah itu wajah yang menyanyikan hatimu?”
"#Talijiwo adalah ungkapan-ungkapan twit bernada romantis yang pernah dilontarkan oleh Presiden Jancukers di akun Twitternya. Jangan heran, sapaan "Kekasih" akan sering muncul dalam buku ini. Dikemas dalam sejumlah tulisan yang ditokohkan oleh pasangan Pak Sastro dan Bu Jendro (terilhami dari kitab Sastrojendro Hayuningrat Pangruwating Diyu), Talijiwo mengemas sejumlah percakapan dan anekdot sehari-hari masyarakat Indonesia yang sering kali diiringi kelucuan.
Sebagaimana tulisannya yang lain seperti seri Lupa Endonesa dan Balada Gathak-Gathuk, gaya satir ala Mbah Tejo terasa dalam buku ini. Bisa dibilang, perpaduan tulisan sang Presiden Jancukers yang ada pada Dalang Galau Ngetwitt dicampur dengan karya lainnya. Karena pada dasarnya kutipan tentang cuitan-cuitan Sujiwo Tejo di media dikemas dengan menyelipkan mereka dalam percakapan Sastro-Jendro. Memosisikan bahwa ungkapan Sujiwo Tejo ini seolah mereka berdua yang mengucapkan, dan mereka tinggal mengingat-ingatnya kembali.
Sejumlah bagian dalam buku menyindir tentang pemerintah, harga-harga yang naik, dan realitas lain yang selama ini dihadapi oleh rakyat Indonesia. Namun mengacu pada tulisan-tulisan Mbah Tejo sebelumnya mengenai rakyat Jancukers, maka terasa cetek IQ seseorang ketika hanya menyoroti pada isu-isu tersebut. Sangat biasa. Justru yang esensial adalah menggali jati diri bangsa yang sempat luntur karena meninggalkan nilai-nilai kejawaan, yang mana secara luas berarti keindonesiaan."
—Probo Darono Yakti, Goodreads
"Saya tidak pernah berminat membaca tulisan berunsur politik, demokrasi, dan kenegaraan. Tidak seperti membaca koran, tulisan-tulisan dalam buku Talijiwo ini justru memperkaya pengetahuan saya tentang hiruk pikuk yang terjadi dalam sistem pemerintahan Indonesia. Penuturan lugas melalui cerita-cerita pendek ditambah dengan sisipan kutipan yang puitis menjadikan buku ini terasa semakin manis. Bacalah."
—Alfa Anggraini, Goodreads
"I absolutly love this book! Buku ini ndak tentang cinta-cintaan aja, meski segala macam diksi atau covernya sangat amat menggambarkan kisah cinta. Nyatanya banyak pesan tentang kehidupan ataupun tentang negara kita selama ini."
—Aisyah Firlinda, Goodreads
"Lucu juga sih. Ya nyastra, ya kekinian-membahas current issues-, ya nyentil, ya aneh-aneh juga. Kadang mbahas rada-rada filosofis lalu tiba-tiba mbahas kehidupan sehari-hari lagi. Udah mbahas soal kehidupan sehari-hari, macam soal nyuci baju dan lain-lain, lalu mbahas current issues lagi. Lalu di sana sini nyelip si talijiwo yang eciyeeeh banget."
—Sri, Goodreads
"Selipan demi selipan kalimat yang diletakkan membuatmu geleng-geleng kepala. Bagaimana sesuatu yang serius tentang polemik dan sindiran terhadap Indonesia menjadi begitu romantis? Kamu bisa dapatkan di buku ini!"
—Vanda Deosar, Goodreads
"Kombinasi dari kritik, cinta dan dunia yang pas. Sangat menggelitik pikiran, sebuah perenungan yang pas."
—Agung Tj, Goodreads
SKU | BI-092 |
ISBN | 978-602-291-586-7 |
Berat | 210 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 236 |
Jenis Cover | Soft Cover |