Sinopsis
Mengapa J.K. Rowling melahirkan Harry Potter? Mengapa BTS jadi boyband K-Pop terbaik yang merajai dunia? Bagaimana Jack Ma bisa membangun kerajaan bisnis Alibaba? Benarkah karya Agatha Christie sang ratu novel detektif jadi buku paling laris di dunia setelah kitab suci? Bagaimana pengalaman masa kecilnya bisa mengantar Barack Obama menjadi Presiden Amerika? Mengapa Haruki Murakami dipandang sebagai orang penting dalam literatur modern?
Dengan semangat mencoba hal-hal baru, jiwa petualang, dan daya imajinasi “kupu-kupu”, kita diajak napak tilas ke tempat-tempat J.K. Rowling melahirkan Harry Potter, Anita Roddick menciptakan The Body Shop, Beatrix Potter menjadi pemegang hak cipta pertama di dunia berkat Peter Rabbit, juga menguak misteri Sherlock Holmes.
Banyak hal berkenaan dengan imajinasi geografis akan kita temukan pula. Bagaimana berkat intuisi geografis Elizabeth I yang luar biasa, Inggris melebarkan sayapnya ke seluruh dunia. Semakin banyak tempat yang dikunjungi, semakin kaya imajinasi geografis yang dimiliki penulis. Hasilnya, semakin beragam pula negara asal pembaca yang berempati dengan karyanya sebagaimana Haruki Murakami, Paulo Coelho, dan Antoine de Saint-Exupéry.
Ayo, bentangkan peta, kembangkan imajinasi geografismu, dan ciptakan butterfly effect-mu.
Isi Buku
Bagian 1 – Yang Tidak Diberi Tahu oleh Buku Geografi — 9
1 | Geografi, Sesuatu yang Kacau? — 10
2 | Imajinasi Geografis yang Mengubah Takdir — 28
Bagian 2 – Melampaui Tembok Rintangan, seperti Kupu-Kupu — 63
1 | Imajinasi Geografis yang Memberi Harapan — 64
2 | Imajinasi Geografis yang Memberikan Kebahagiaan — 106
Bagian 3 – Jalanmu Tidak Terlihat Sama Sekali? Resep Geografi untukmu — 137
Mewujudkan Mimpi, Menciptakan Butterfly Effect — 138
Formula Sihir Kupu-Kupu — 184
Anak Muda Indonesia, Terbanglah seperti Kupu-Kupu — 189
Penutup: Imajinasi Geografis, Lilin dalam Kegelapan — 197
Q & A Bersama Ashley Kim — 203
Indeks — 209
Tentang Penulis — 213
Bagian 1
Yang Tidak Diberi Tahu oleh Buku Geografi
1 | Geografi, Sesuatu yang Kacau?
Sekarang, aku menjalani hidup yang menyenangkan sebagai seorang geografer. Sebenarnya, aku tidak sejak awal menyukai ilmu geografi.
Sewaktu sekolah, aku sangat benci pelajaran geografi sebab harus menghafal nama-nama tempat dan benda khasnya sesuai dengan yang ada di buku pelajaran. Melihat peta saja kepalaku langsung sakit. Hampir semua jawabanku di soal ujian tentang nama dan letak pegunungan di peta salah. Sementara itu, Ibu selalu menyuruhku membaca buku, belajar, dan berlatih piano di rumah saja. Akibatnya, untuk waktu yang lama, aku menjadi seseorang yang tidak pandai membaca arah dan mudah tersesat. Untungnya, sekarang, kemampuanku membaca arah sudah jauh lebih baik. Sekarang, jika pergi ke suatu tempat yang baru, aku tidak langsung bertanya kepada orang lain, tetapi mencari tahu di peta terlebih dahulu.
Lalu, bagaimana ceritanya aku yang dahulu membenci peta dan pelajaran geografi bisa kuliah di jurusan Ilmu Geografi? Jurusan itu adalah alternatif yang kupilih gara-gara nilai ujianku jelek. Tapi, sebenarnya, pilihan itu juga dipengaruhi oleh rayuan kuat guru geografiku sewaktu SMA. Aku bersekolah di SMA khusus perempuan dan di sana ada banyak sekali guru perempuan yang sudah tua. Satu-satunya guru laki-laki yang masih bujangan adalah guru geografi. Kami menjulukinya “ubi gosong”. Menurut kami, penampilannya tidak menarik. Walau begitu, dia sering bercerita dengan menarik tentang pengalamannya saat kuliah yang sering mengeksplorasi berbagai tempat. Entah karena ceritanya itu atau bukan, saat itu aku jadi berpikir, “Ilmu geografi di SMA memang membosankan, tapi di universitas pasti beda,” dan menaruh harapan pada ilmu ini. Tapi, sayangnya, setelah masuk jurusan Ilmu Geografi, aku hanya belajar teori-teori yang kaku. Akhirnya, aku jadi kehilangan minat pada ilmu ini. Yang kulakukan hanyalah berusaha supaya cepat lulus dan menyiapkan diriku untuk mencari pekerjaan.
Walau begitu, pada usia 30-an, akhirnya aku menyadari kembali alasan dasarku memilih ilmu geografi. Penyebabnya adalah pertemuanku dengan mimpiku saat masih kecil dan munculnya memori yang sempat terlupakan.
Pippi si Kaus Kaki Panjang adalah idolaku waktu kecil. Bertemu dengan Pippi lewat serial televisi, aku iri sekali padanya yang tinggal sendirian di sebuah pondok sambil melakukan hal-hal yang diinginkan, termasuk pergi keliling dunia. Meskipun harus menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah dan melakukan semuanya sendiri karena ibunya telah meninggal dunia dan ayahnya bekerja sebagai pelaut, Pippi adalah seorang anak pemberani.
Suatu hari, Pippi bertemu dengan seseorang yang sangat menginginkan koin emasnya. Orang itu berusaha keras merayu Pippi untuk membeli obat penghilang bintik wajah yang dia jual. Tapi, Pippi justru berkata kepada orang itu, “Aku suka bintik-bintik di wajahku. Apa tidak ada obat untuk memperbanyak bintik-bintik ini?” Sosok Pippi yang mengatakan hal itu sangat lucu dan berkesan di mataku. Aku jadi ingin seperti Pippi: berkeliling dunia dengan naik kuda, balon udara, dan kapal. Belakangan, aku baru sadar, keinginanku untuk hidup bebas seperti gadis itulah yang membuatku tertarik pada ilmu geografi.
Dulu, aku benar-benar tidak tahu dan tidak peduli dari negara mana Pippi berasal. Saat itu, aku hanya berpikir bahwa Pippi pasti sebuah karakter yang muncul di cerita anak-anak buatan Amerika Serikat atau Inggris. Belakangan, aku baru tahu bahwa pencipta Pippi adalah Astrid Lindgren, seorang penulis dari Swedia. Saat berumur 40 tahun, aku berkesempatan mengunjungi kampung halamannya, tempat yang menghubungkanku dengan dunia mimpi masa kecilku yang ajaib. Saat itu, rasanya menakjubkan, sebab seluruh masalah dan konflik yang selama itu menggangguku seakan-akan terselesaikan semuanya sekaligus. Seandainya saja aku menggunakan pemikiran geografisku untuk pergi ke Swedia dan bertemu dengan sejarah Astrid Lindgren lebih dini ... mungkin jalan hidupku sudah banyak berubah sejak umurku masih kepala dua.
Saat Pippi si Kaus Kaki Panjang pertama kali diperkenalkan ke dunia, banyak orang dewasa yang khawatir dan menolak. Akan tetapi, berkat dukungan antusias dari anak-anak Swedia, buku cerita Pippi laris manis dan seri-seri lanjutannya terus diterbitkan. Pippi tidak hanya terkenal di Swedia, tetapi juga di Norwegia, Finlandia, Denmark, dan Jerman. Pippi pun menjadi karakter favorit anak-anak di berbagai acara dan parade kostum. Ajaibnya, di negara yang menyambut Pippi dengan hangat, posisi perempuan dalam masyarakat dan ekonomi pun membaik. Islandia, Norwegia, dan Finlandia menambah daftar negara yang paling mendukung ke setaraan gender di dunia, bersama dengan negara asal Pippi, Swedia.
Menurutku, Pippi adalah seorang geografer cilik. Dia adalah anak yang penuh rasa ingin tahu. Pada saat anak-anak lain tidak mau sekolah karena menurut mereka membosankan, Pippi justru ingin sekolah. Alasannya sederhana, dia hanya ingin “mencicipi” yang namanya liburan sekolah. Meskipun sering salah dalam pengucapan dan tidak mampu menghafal perkalian, imajinasi geografis gadis kecil ini sangat luas. Penyebabnya adalah pengalamannya yang sangat banyak dan beragam, yang diperolehnya saat berkeliling dunia mengikuti jejak ayahnya yang seorang pelaut.
Nah, kurasa, kita pun bisa tetap pergi jalan-jalan meskipun tidak tahu ibu kota suatu negara dan berbekal pengetahuan geografis yang sedikit. Hal-hal yang tidak kita ketahui itu bisa kita tanyakan langsung kepada teman yang kita temui di tempat itu nanti.
Tidak hanya menjadi idola, Pippi juga menjadi mentor untukku. Saat merasa kesepian dan sedih, aku selalu bertanya kepada diri sendiri, “Jika aku adalah Pippi, apa yang akan kulakukan?” Setelah itu, aku jadi lebih berani untuk melanjutkan langkahku, seperti Pippi.
Aku adalah seorang Pippi-mania. Kecintaanku pada Pippi kutunjukkan lewat berbagai cara. Di pintu ruang penelitianku, ada poster Pippi yang sedang mengangkat seekor kuda, dengan sepasang kaus kaki yang berbeda satu sama lain dan sepatu butut di kedua kakinya. Aku juga menggunakan kata “pippi” untuk alamat surelku.
Sosok lain yang memengaruhiku untuk menjadi seorang geografer adalah tokoh utama dalam sebuah karya sastra. Sosok itu adalah karakter yang diciptakan oleh Saint-Exupery, yaitu Pangeran Kecil. Pangeran Kecil dengan penuh semangat mencari planet yang dihuni oleh seorang geografer. Namun, setelah menemukannya, dia justru merasa kecewa, lalu beralih menuju bumi.
“Planet Kakek sangat indah. Apa laut juga ada?” “Aku tidak tahu.”
“Kalau gunung?”
“Aku juga tidak tahu.”
“Kalau kota, sungai, dan gurun?”
“Itu juga aku tidak tahu.”
“Tapi, Kakek, kan, geografer?”
Pangeran Kecil yang ingin tahu tentang ilmu geografi mulai mengajukan pertanyaan yang lebih detail tentang pekerjaan seorang geografer, apakah bunga juga dicatat.
“Kami tidak mencatat bunga.”
“Kenapa? Bunga, kan, cantik!”
“Sebab, bunga adalah benda sementara.”
“Benda sementara? Apa maksudnya?”
“Buku geografi adalah buku yang paling penting di antara semua buku. Tidak terpengaruh oleh tren, jarang sekali gunung menggeser posisinya, air laut pun hampir tidak mungkin mengering. Kami hanya mencatat benda-benda yang abadi.”
Begitulah novel yang disukai di seluruh dunia, Pangeran Kecil (Le Petit Prince), menggambarkan sosok geografer. Tokoh geografer yang muncul di buku ini menganggap remeh dunia yang tidak terlihat oleh mata dan benda-benda yang tidak dapat digambarkan lewat peta. Dia juga tidak tertarik pada satu-satunya bunga yang ada di dunia dan dicintai oleh Pangeran Kecil. Kakek Geografer hanya menganggap penting sungai, laut, dan gunung—benda-benda yang tidak akan berubah. Baginya, daripada menjelajahi dunia baru secara langsung, lebih baik mendengar cerita dari orang-orang yang pernah pergi ke sana dan hanya menulis hal-hal yang menurutnya bisa dipercaya.
“Aku bukan penjelajah. Aku jauh dari definisi penjelajah. Seorang geografer tidak berkelana ke kota, sungai, gunung, laut, matahari, ataupun gurun.
“Geografer adalah orang yang sangat penting sehingga tidak bisa bepergian seenaknya.
“Aku tidak bisa meninggalkan ruang belajarku. (….)”
Sebagai seorang geografer yang mencintai bunga dan kupu-kupu, aku ingin memperkenalkan ilmu geografi baru kepada Pangeran Kecil sekaligus meluruskan kesalahpahamannya tentang geografer. Ilmu geografi baru untuk Pangeran Kecil berurusan dengan dunia penuh pesona yang hanya bisa dipelajari dengan lima pancaindra.
Aku ingin mengenalkannya pada dunia geografi yang feminin, yaitu yang menganggap penting harumnya bunga dan kepakan sayap kupu-kupu mungil (tidak seperti geografi maskulin yang hanya memastikan lokasi sumber daya alam bawah tanah, hasil pertanian, dan wilayah industri untuk kepentingan pembangunan ekonomi). Ilmu ini mengesampingkan grafik-grafik rumit dan statistik kaku tentang kepadatan populasi, pendapatan nasional, curah air hujan, dan lain-lain. Yang kami gunakan adalah foto-foto indah dan kisah-kisah yang menyentuh hati.
Kepada Pangeran Kecil yang kebanyakan berjalan-jalan di Gurun Sahara saja, aku ingin mengenalkannya pada berbagai tempat di bumi ini yang mungkin dia akan suka, seperti Asia Tenggara, Asia Timur, Amerika Latin, dan tempat lain. Aku akan menjadi pemandu wisata yang mengenalkannya pada tempat-tempat yang indah, menarik, kreatif, penuh cinta, dan didiami oleh orang-orang yang bahagia. Dengan begitu, Pangeran Kecil akan tinggal di bumi lebih lama lagi dan bisa membuat kenangan yang indah tentang planet ini.
Para geografer yang kutemui di Inggris bahkan dengan bebas memilih sendiri topik penelitian yang ingin dilakukan. Makanan, fashion, olahraga, seni kontemporer, sampai tarian dan bebauan …. Semua hal yang ada dan bisa dibayangkan di dunia ini ternyata bisa menjadi topik penelitian geografer. Setelah menyadari hal itu, aku jadi sangat menyukai profesiku sebagai geografer.
Sayangnya, ilmu geografi yang diajarkan di sekolah masih dipenuhi oleh hal-hal yang kaku dan membosankan. Ilmu geografi dunia yang muncul di buku pelajaran misalnya. Masih saja memuat informasi jadul yang salah dan tidak berguna di dunia nyata, lengkap dengan sudut pandang yang berat sebelah. Apakah ilmu yang benar hanyalah buku pelajaran yang gagal mencerminkan kenyataan dan pengetahuan yang muncul di buku kumpulan soal ujian?
Menurutku, banyak hal di buku-buku tersebut yang sudut pandangnya berat sebelah. Salah satunya adalah peta. Peta tidak hanya menandai lokasi yang berhubungan dengan manusia dan alam semata, tapi juga memuat wacana politis dan kultural. Di peta dunia terpampang dunia yang dilihat dari sudut pandang kebudayaan tertentu.
Peta dunia memegang peran kunci dalam proses pembuatan kebijakan kolonialisme dan perwujudan imperialisme Eropa masa lalu. Contohnya, buku anak-anak bergambar peta dunia buatan Inggris, yang memberikan pengaruh besar terhadap imajinasi anak-anak di seluruh dunia. Pada buku-buku peta dunia untuk anak-anak yang diterbitkan di Korea Selatan, aku bisa melihat bahwa buku-buku tersebut cenderung menggunakan sudut pandang eurosentris, yaitu berfokus pada Eropa. Dari isi dan banyaknya terlihat jelas bahwa Eropa dan negara-negara Barat memiliki proporsi yang jauh lebih banyak daripada belahan dunia yang lain. Pada tipikal peta dunia yang eurosentris, wilayah lintang tinggi di belahan bumi utara diperbesar secara berlebihan. Belahan dunia yang dekat garis khatulistiwa, seperti Afrika, Amerika Latin, dan Asia Tenggara, diperkecil, sementara Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Eropa Utara, dan Rusia diperbesar sehingga mengesankan bahwa bagian-bagian bumi tersebut adalah tempat yang penting.
Buku-buku geografi berpemahaman berat sebelah tentang dunia tersebut mendeskripsikan sejarah dan budaya Eropa secara positif. Sebaliknya, Dunia Ketiga dijelaskan sebagai wilayah yang lemah dan terpuruk. Citra seperti itu menimbulkan kekhawatiran bahwa eurosentrisme akan semakin kuat. Eropa digambarkan sebagai wilayah iklim tengah yang kaya warisan budaya dan memiliki ekonomi yang maju, sedangkan wilayah iklim tropis digambarkan sebagai daerah persebaran sumber daya yang masih menanti pembangunan. Wilayah iklim tropis ditandai dengan tanah barbar yang merupakan habitat hewan, tumbuhan, dan manusia primitif, tempat wisata yang menyajikan pemandangan eksotis serta perempuan erotis nan penurut.
Pendidikan geografi yang mengandung pandangan seperti ini menghambat pemahaman yang seharusnya seimbang tentang kenyataan dan dunia yang terus berubah secara dinamis, hingga akhirnya memutarbalikkan imajinasi geografis pembacanya.
Soal-soal yang banyak muncul dalam ujian geografi pada umumnya, di Korea Selatan, berupa soal yang mengandalkan kemampuan menghafal tentang keadaan ekonomi suatu wilayah pada waktu tertentu. Misalnya, jumlah perdagangan dan sebagainya. Aku tidak hanya khawatir hal ini akan memperkuat pola pikir ekonomis yang mengutamakan uang, tapi juga bertanya-tanya, “Apakah pengetahuan seperti ini benar-benar ada gunanya untuk mimpi dan kebahagiaan kita?”
Pendidikan geografi seperti ini mengubur masalah-masalah nyata seperti penderitaan para petani Meksiko yang dirugikan oleh Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) dan tuntutan untuk merdeka (seperti orang-orang Irlandia Utara dan Catalonia yang ingin bebas dari Inggris dan Spanyol).
Ilmu geografi baru yang kuharapkan adalah ilmu geografi yang tidak terpaku pada Eropa dan Amerika Utara saja, serta bisa menjadi jendela tempat kita melihat dunia dengan berbagai cara. Ilmu ini akan membantu kita untuk melihat dunia baru dengan cara kita sendiri, tanpa embel-embel prasangka atau diskriminasi. Dengan ilmu ini, kita juga akan terbantu dalam menemukan kembali keseharian kita.
Ashley
Sejak SD, SMP, SMA, hingga kuliah, Ashley tinggal di Inggris. Beberapa waktu setelah kembali ke Korea, sewaktu masih berkuliah, dia mengunjungi Indonesia setiap liburan untuk mempromosikan Bandung kepada masyarakat Korea. Semua itu terpicu oleh pertemuan singkatnya dengan Ridwan Kamil yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Bandung.
Ashley merasa bahwa Indonesia adalah negara yang baik untuk mewujudkan
mimpinya.
Mimpi Ashley untuk masa depan adalah mengatur keuangan, teknologi, SDM yang dibutuhkan untuk membangun kota pintar yang dapat menyediakan kemajuan yang kompetitif serta kehidupan yang efisien dan berkualitas tinggi. Dia memulai magangnya di CBRE dan Cushman & Wakefield, sebuah perusahaan global konsultan properti di Korea. Melihat orang-orang yang sedang mencari mimpinya di Indonesia, maupun orang-orang yang telah meraih mimpinya, kian memotivasi Ashley juga untuk terus melanjutkan mewujudkan mimpi-mimpinya.
Ashley bisa ditemui di Instagram: @ashleyumyumkim, Tiktok: ashyumyumkim.
Eje Kim
Sebagai ahli geografi budaya yang telah mengunjungi 100 negara, Eje Kim menjelajahi berbagai bidang dan selalu mencoba penelitian baru, tentang masakan, mode, pariwisata, olahraga, dan seni modern. Tidak hanya meneliti, Eje Kim juga pernah membawakan program pendidikan geografi dunia untuk ujian akhir SMA yang ditayangkan oleh EBS (교육방송 Korea Educational Broadcasting System), serta tampil dalam program dokumenter wisata (세계테마기행, World Theme Travel) di televisi.
Saat ini, Eje Kim menjabat sebagai profesor di Departemen Pendidikan Sosial Gyeongin National University of Education. Buku-buku yang telah ditulisnya antara lain Dengan Perkasa, Juga Anggun: Para Perempuan Inggris yang Melompati Peta Takdir (치열하게 그리고 우아하게: 운명의 지도를 뛰어넘은 영국 여자들) dan Asia Tenggara yang Funky (펑키 동남아) yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Happy Yummy Journey.
Eje bisa dikunjungi di Instagram: @ummaeje.
“Best of luck to The Geography of Dream.”
—Eric Weiner, penulis buku bestseller The Geography of Bliss
SKU | QA-49 |
ISBN | 978-602-441-299-9 |
Berat | 280 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 216 |
Jenis Cover | Soft Cover |