Buku SAPIENS DI UJUNG… - Iqbal Aji… | Mizanstore
  • SAPIENS DI UJUNG TANDUK
Ketersediaan : Tersedia

SAPIENS DI UJUNG TANDUK

    Deskripsi Singkat

    “Kita senang dengan gaya tulisannya yang jenaka, tapi juga jengkel karena kritiknya tentang ironi masyarakat digital banyak benarnya.” —Nezar Patria, wartawan senior “... konsisten merontokkan sekat sumbatan kaku berkomunikasi pada era digital.” —Teguh Arifiyadi, “pengendali tata kelola internet”, Kementerian Kominfo RI “Ide-ide besar yang lahir dari renungan serius, bisa dia… Baca Selengkapnya...

    Rp 59.000 Rp 50.150
    -
    +

    “Kita senang dengan gaya tulisannya yang jenaka, tapi juga jengkel karena kritiknya tentang ironi masyarakat digital banyak benarnya.”

    —Nezar Patria, wartawan senior

    “... konsisten merontokkan sekat sumbatan kaku berkomunikasi pada era digital.”

    —Teguh Arifiyadi, “pengendali tata kelola internet”, Kementerian Kominfo RI

    “Ide-ide besar yang lahir dari renungan serius, bisa dia sajikan dengan cara yang sangat renyah.”

    —Abdul Gaffar Karim, pengamat politik Universitas Gadjah Mada

    “... berefleksi tentang arsitektur kehidupan masa kini yang lebih banyak mempertemukan orang dalam ruang-ruang jagat maya dan digital.”

    —Irham Nur Anshari, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada

     

    Pernah tersesat karena lebih percaya Google Maps ketimbang tanya warga lokal?

    Pernah merasa mati gaya karena internet down semalaman?

    Pernah tergopoh-gopoh meninggalkan kerjaan rumah demi menyambut kurir paket?

     

    Era digital menawarkan kemudahan. Namun, era ini juga merenggut banyak kemampuan dan kebebasan kita. “Manusia” dalam diri ini terkikis bahkan nyaris lenyap. Akibatnya, perilaku manusia dalam berkomunikasi dan bersosialisasi turut berubah, yang dari kacamata akal sehat, jadi tampak konyol. Membaca buku ini menyadarkan kita betapa kocaknya polah tingkah manusia pada era digital. Dan percayalah, tidak ada yang lebih nikmat selain tertawa sekaligus tertohok.

     



    Keunggulan Buku

    Membahas tema serius dengan cara yang asyik dan lugas tidaklah mudah. Seperti yang dilakukan Iqbal Aji Daryono dalam buku berjudul Sapiens di Ujung Tanduk. Dalam buku ini, kita diajak meninjau kembali segala polah tingkah dalam merespons kemajuan teknologi dan komunikasi. Era digital memang mengubah banyak hal. Seiring dengan kemudahan yang ditawarkan, ada harga yang harus dibayarkan. Kebebasan, termasuk di dalamnya. Buku ini mengajak pembaca memahami fenomena yang sedang berlangsung dalam hidup umat manusia terkait dengan maraknya digitalisasi. Kisah yang disampaikan sangat relate dengan pembaca. Membaca buku ini bukan hanya menghibur, melainkan juga memperkaya wawasan dan memperdalam kesadaran.

     

    KATA PENGANTAR

    Netizen Indonesia Bagai Katak Dalam Tempurung

    Oleh Damar Juniarto

     

    Sehari sebelum acara Forum Tata Kelola Internet Sedunia (Internet Governance Forum) 2019 di kota Berlin, Jerman, dimulai, saya membaca opini yang ditulis Tim Berners-Lee, pencipta World Wide Web – Internet yang kita kenal sekarang. Tim menulis “I Invented the World Wide Web. Here’s How We Can Fix It” di media New York Times. Ia berharap setelah 30 tahun penemuannya, kita akan menggunakan Internet terutama untuk tujuan melayani umat manusia. Namun, kenyataannya jauh dari harapan. Masyarakat telah dicabik-cabik karena prasangka dan kebencian, disinformasi dijajakan secara daring. Para penipu menggunakan Internet untuk mencuri identitas, penguntit menggunakannya untuk merisak dan mengintimidasi korban mereka, dan aktor jahat menumbangkan demokrasi menggunakan taktik digital yang canggih. 

    Menurutnya, Internet yang diciptakannya telah rusak dan butuh diperbaiki. Karenanya, ia berpendapat Internet butuh diintervensi secara radikal oleh semua orang yang memiliki kekuasaan atas masa depannya: pemerintah yang dapat membuat undang-undang dan mengatur, korporasi teknologi yang merancang produk; kelompok masyarakat sipil dan aktivis yang meminta pertanggungjawaban pihak yang berkuasa; dan setiap pengguna Internet yang berinteraksi dengan orang lain secara daring. 

    Tim sendiri sebagai pencipta juga bertekad memperbaiki dengan langkah membuat Contract for the Web. Contract for the Web adalah rencana aksi global yang dibuat para aktivis, akademisi, perusahaan, pemerintah, dan warga dari seluruh dunia untuk memastikan dunia daring kita aman, memberdayakan, dan benar-benar untuk semua orang. Kontrak tersebut menguraikan langkah-langkah untuk mencegah penyalahgunaan Internet dan informasi penggunanya yang disengaja.

    Saya tidak tahu apakah opini Tim bahwa Internet yang diciptakannya rusak dan butuh diperbaiki itu diketahui oleh ratusan juta pengguna Facebook, puluhan juta pengguna Twitter, dan beragam media sosial di Indonesia. Bisa jadi opininya tenggelam oleh keriuhan kontestasi pasca pilpres 2019 dan ketegangan di Papua. Ketegangan yang saya maksud adalah pemadaman Internet di Papua dan Papua Barat yang dimulai pertengahan Agustus dan baru benar-benar berakhir Oktober 2019.

    Perbincangan tentang human-centered approach technology atau teknologi untuk kemanusiaan menjadi bintang utara yang menjadi kiblat perkembangan teknologi Internet di berbagai belahan dunia. Namun, sepertinya perbincangan ini tak terjadi di Indonesia. Mengapa bisa demikian?

    Padahal gelombang kritik pada Internet ini sudah terjadi cukup lama. Pasca terungkapnya skandal Cambridge Analytica pada pilpres AS tahun 2016, sudah terjadi desakan global untuk memperbaiki Internet. Salah satu gerakan yang saya aktif terlibat adalah #DearMark Fix Facebook yang diarahkan pada pencipta sekaligus miliarder Mark Zuckerberg untuk memperbaiki Facebook. Persoalan iklan politik tanpa pembatasan, polarisasi opini akibat algoritma media sosial, surveillance marketing, gelombang disinformasi dan genosida oleh rezim otoriter Myanmar pada suku bangsa Rohingya menjadi isu yang melatari gerakan Global South Coalition ini. Namun, sama seperti tenggelamnya opini Tim, kritik atas rusaknya Facebook ini sepertinya tidak diketahui oleh penggunanya di Indonesia.

    Kenyataannya, pengguna Internet seperti terlalu terikat pada Facebook sehingga bahkan tak pernah mempertimbangkan untuk keluar dari Facebook. Kita mungkin khawatir dan mengeluh tentang penyalahgunaan data oleh Facebook, tapi dengan cepat kita kembali menyambar ponsel dan membaca informasi di dinding Facebook kita, seperti takut ketinggalan berita. Facebook adalah aplikasi yang pertama kali kita buka di pagi hari, ketika kita bosan, belajar, ketika kami ingin berbicara dengan teman, membaca berita, mencari bisnis, dan ratusan lainnya. Itu telah menjadi bagian intrinsik dari gaya hidup kita. Kita di Indonesia mungkin tidak terlalu peduli juga pada isu Tatanan Dunia yang baru, Future of Work, persoalan etik pada Kecerdasan Buatan yang dikhawatirkan akan menyingkirkan dan pada gilirannya menggantikan umat manusia. Kita sepertinya tidak ambil pusing apakah teknologi Internet ini rusak dan perlu diperbaiki. Mungkin bagi kita, teknologi ini dianggap sudah sempurna dan paripurna? Tampaknya bagi netizen Indonesia, urusan Internet hanyalah seluas jagat medsos. Bagai katak dalam tempurung, asal Internet masih bisa dipakai berselancar, habis perkara.

    Di manakah posisi netizen (baca: manusia) Indonesia dalam situasi tadi? 

    Jawabannya dapat ditemukan dalam kumpulan tulisan Iqbal Aji Daryono ini. Karya “Sapiens di Ujung Tanduk” ini mampu memotret manusia Indonesia di tengah hiruk-pikuk informasi ini. Seperti kebanyakan manusia Indonesia kiwari, Iqbal hidup di dua dunia: di dunia nyata dan di dunia digital. Ia mengakui “Facebook adalah dunia saya yang kedua setelah keluarga”. Kebanyakan tulisannya menuturkan tentang manusia di tengah tegangan antara modernitas dan tradisional, antara angkringan dan kafe, teman sungguhan dan teman medsos, facebook dan keluarga. Pandangannya bahwa media sosial adalah angkringan 4.0 adalah alusi yang saya yakin dipercaya oleh banyak pengguna Internet di Indonesia yang ingin agar media sosial seperti angkringan, tempat sosialisasi antar-warga dan jadi simbol egaliter antar-warga masyarakat, antar-manusia. Meskipun menurut saya, media sosial itu tempat baku hantam antar warga dan arena adu kuasa antara dua gajah: Negara dan korporasi. Gajah sama gajah berjuang, pelanduk mati di tengah-tengah. Di tengah Negara dan Korporasi bertarung kuasa, para pengguna terjepit di antaranya. Boro-boro mau enak ngangkring, mau sambat aja dihantui UU ITE. 

    Denpasar, 21 Maret 2022

     

    NUKILAN

    Bicara atau Dosa!

    You can’t post or comment for 3 days. Kalimat itu tiba-tiba nongol di layar HP saya, persisnya ketika saya membuka aplikasi Facebook. Tentu saya kaget. Apa salah saya sama Mas Zuckerberg?

    Kemudian, saya baca pelan-pelan segala keterangan lanjutannya. Ternyata hukuman itu ditimpakan gara-gara saya mengunggah foto sepiring tongseng kambing yang sedang saya santap, dan bersama gambar itu saya tuliskan: “Jamu penangkal Covid”. Nah, rangkaian kata tersebut diendus oleh Facebook sebagai hoaks tentang Covid! Maka, tidurlah akun saya selama tiga hari.

    Saya tak hendak membahas betapa lebainya Facebook, dan betapa mereka sekarang susah sekali diajak bercanda. Saya lebih ingin menggambarkan pergolakan spiritual yang saya alami selama tiga hari panjang penuh kebekuan itu. 

    Begini. Facebook buat saya ibarat cerutu buat Fidel Castro, atau sepeda buat Jokowi. Saya sendiri belum pernah melihat Jokowi sepedaan, kecuali di boneka kertasnya yang terpajang di bandara-bandara. Tapi, kira-kira seperti itu. Pendek kata, kantor saya di Facebook, tongkrongan utama saya di Facebook, perpustakaan saya di Facebook. Paling tidak, selama tujuh tahun terakhir, nyaris tidak ada satu hari pun yang saya lalui tanpa Facebook-an. Facebook adalah dunia saya yang kedua setelah keluarga (eh, atau kebalik?).

    Dengan realitas seekstrem itu, azab tiga hari tanpa Facebook-an sungguh bukan perkara main-main. Otak, hati, dan segenap sistem kimiawi di dalam tubuh saya protes keras. Jangankan posting sesuatu, bahkan mau pencet like dan lope-lope saja saya dilarang. Lebih menyakitkan lagi, akun saya masih bisa saya lihat utuh, tampilannya utuh, unggahan teman-teman saya juga utuh dan selalu ter-update
    dari detik ke detik. Artinya, saya bisa memantau semuanya, tapi tidak bisa bicara.

    Bisa memantau, tapi tidak bisa bicara. Bayangkan, bukankah itu berat sekali?

    Resensi

    Spesifikasi Produk

    SKU BI-171
    ISBN 978-602-291-897-4
    Berat 160 Gram
    Dimensi (P/L/T) 13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm
    Halaman 176
    Jenis Cover Soft Cover

    Produk Iqbal Aji Daryono

















    Produk Rekomendasi