Matan Abu Syuja’ adalah salah satu kitab terbaik fiqih Mazhab Syafi‘i, ditinjau dari cara pengkajian maupun isi kandungannya. Semua bab fiqih, ketentuan hukum, masalah ibadah, muamalah, dan lain-lain tercakup dalam buku ini. Bahasa yang lugas dan klarifikasi bahasan yang tematis menjadikan buku ini mudah dipelajari dan dipahami. Untuk memenuhi kecenderungan pencari ilmu yang menuntut dalil-dalil, Dr. Musthafa Dib al-Bugha melengkapinya dengan dalil-dalil Al-Quran dan Hadis, serta pendapat para ulama. Sejak dulu hingga sekarang, buku ini menjadi bahan kajian para pencari ilmu dan menjadi sangat istimewa untuk dijadikan rujukan penting dalam mempelajari fiqih Mazhab Syafi‘i.
Ia adalah seorang ulama terkemuka yang masih ada saat ini. Buku-buku karya Dr. Musthafa telah banyak tersebar di Dunia Islam. Di antara buku kecil yang ia tulis adalah Al-Wafi fie Syarhi al-Arba’in an-Nawawi, yang banyak dijadikan sebagai diktat di pesantren-pesantren Indonesia. Nama lengkap beliau adalah: Mushthafa Dib al-Bugha al-Maidani ad-Dimasqi as-Syafi‘i, ia lahir di sebuah daerah bernama Maidan, di Kota Damaskus, pada tahun 1938. Ia dibesarkan di daerah ini. Lulus dari Ma‘had at-Taujih al-Islami pada tahun 1959 (setingkat SMU). Pendidikan formal ia lanjutkan di Universitas Damaskus, dan lulus pada di tahun 1963. Program pendidikan Magister dan Doktoral ia lanjutkan di Universitas Al-Azhar, Kairo.
• Ditulis oleh ulama terkemuka.
• Meskipun materinya cenderung berat, namun Penulis berhasil menuliskannya dengan bahasa yang ringan sehingga mudah dipahami pembaca.
Endorsment
“Karya klasik yang fenomenal. Disajikan secara lengkap, disertai dalil-dalil Al-Quran dan Hadis, serta pendapat para sahabat. Menjadi rujukan yang sangat berharga.”
—Dr. K.H. Ma‘ruf Amin, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Nukilan Buku
Menyulam Hukum-Hukum Syariat dengan Benang Emas
KATA PENGANTAR
Segala puji milik Allah Yang Maha Esa, yang berfirman di dalam kitab-Nya:
…. Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka (kaum Mukmin) tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka .... (QS Al-Taubah [9]: 122)1.
Shalawat dan salam untuk nabi terakhir, tiada nabi sesudahnya, yang bersabda tentang anugerah Allah berupa inti sari Al-Quran dan Sunnah (jawâmi‘ al-kalâm):
“Siapa saja yang Allah kehendaki menjadi orang baik maka Dia anugerahkan kepadanya pemahaman agama yang baik.” (Muttafaq Alaih) [“Yufaqqih”: Allah Swt. menjadikannya ahli fiqih yang memahami inti sari Al-Quran dan Sunnah—peny.]
Shalawat dan salam juga untuk keluarga Nabi Muhammad Saw., para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebajikan, yaitu yang berusaha memahami agama Allah Swt., mendalaminya, dan mengajarkannya (kepada orang lain).
Kitab Matn al-Ghâyah wa al-Taqrîb adalah salah satu kitab terbaik dalam fiqih Mazhab Syafi’i, baik dari cara pengkajiannya maupun isi kandungannya. Meskipun ukurannya kecil, kitab ini mencakup semua bab fiqih, ketentuan-ketentuan hukum, serta masalah-masalah yang terkait dengan ibadah, muamalah, dan sebagainya.
Kitab ini tersusun dengan bahasa yang lugas, susunan kata yang indah, rangkaian kalimat yang baik, dan klasifikasi bahasan yang tematis. Semua itu memudahkan orang yang mempelajari ilmu agama (fiqih) dalam memahami dan menghayati kandungannya.
Kitab ini begitu istimewa karena dapat diterima oleh masyarakat luas, tentunya atas kehendak Allah Ta’ala. Oleh karena itu, para pencari ilmu dan ulama sejak dahulu hingga sekarang selalu mengkaji kitab ini sebagai bahan pelajaran, memahami dan menghafalnya, serta menjelaskan dan menguraikannya.
Mengingat kitab ringkas ini tidak banyak menyertakan dalil-dalil hukum, sementara para penuntut ilmu saat ini cenderung mempelajari hukum syara‘ (fiqih) dengan mengacu pada dalilnya, saya tertarik untuk berkhidmat kepada agama Allah ini dengan menambahkan dalil-dalil hukum tersebut. Saya persembahkan semuanya untuk para pelajar Muslim dan semua orang yang ingin memperdalam ilmu agama.
Oleh karena itu, buku yang ada di tangan pembaca ini dilengkapi dengan dalil-dalil yang dapat menerangi mata batin mereka dalam beragama, menambah keyakinan mereka dalam pelaksanaan syariat, menguatkan akidah mereka, menenteramkan hati mereka dalam beribadah, dan meneguhkan pelbagai aktivitas transaksi dan muamalah mereka.
Sungguh besar anugerah yang Allah Swt. karuniakan kepada saya. Dialah yang memberikan taufik kepada saya dalam usaha ini, setelah saya berkonsultasi kepada para guru saya yang mulia, khususnya dalam bidang fiqih dan umumnya dalam bidang syariat. Dengan senang hati, mereka pun menyambutnya, mendorong dan memotivasi saya untuk menyelesaikannya.
Usaha yang saya lakukan ini sebenarnya sebatas menyebutkan dalil-dalil naqlî dari Al-Quran dan Sunnah, serta pendapat para sahabat. Saya tidak banyak menampilkan alasan-alasan rasional dan simpulan-simpulan analogi, tetapi kadang juga perlu menyebutkan yang penting.
Secara umum saya berpegang pada dalil-dalil yang terdapat dalam kitab-kitab Mazhab Syafi‘i. Akan tetapi, apabila saya menemukan dalil yang lebih kuat dan jelas, saya akan merujuknya dan menyebutkannya.
Saya berupaya semaksimal mungkin merujuk dalil-dalil tersebut langsung ke sumber aslinya, khususnya kitab-kitab hadis, dengan mengutip redaksinya, nomor urut hadisnya bila ditemukan, serta halaman dan juz (bagian buku) yang memuat hadis tersebut3. Saya jarang menggunakan sumber lain dalam perujukan hadis (kecuali dengan cara ini). Terkait dengan ayat Al-Quran, saya sebutkan nomor ayat dan nama surahnya. Kemudian, apabila dalam teks yang dijadikan dalil terdapat kosakata asing, saya tambahkan penjelasan kosakata tersebut supaya teks dalil mudah dipahami dan sisi pengambilan dalilnya semakin jelas.
Namun terkadang, saya sajikan pula penjelasan beberapa kosakata dari kitab Matn al-Ghâyah atau menyebutkan beberapa definisi yang saya anggap penting.
Hal ini tidak sering saya lakukan karena saya tidak bermaksud mensyarahkan kitab ini, serta sudah banyak pula kitab yang mensyarahkannya. Apabila saya temukan pendapat yang lemah di dalam Matn Al-Ghâyah, saya akan menjelaskan pendapat yang lebih sahih dan lebih kuat dengan mengacu kitab-kitab Mazhab Syafi‘i yang dijadikan pegangan. Sumber pendapat ini ada kalanya saya sebutkan; ada kalanya pula tidak saya sebutkan.
Terkadang, saya juga tambahkan beberapa hukum atau keterangan yang dianggap penting untuk menyempurnakan manfa ini, sedangkan semua usaha saya dalam menjelaskan dalil dan sebagainya, saya cantumkan pada bagian bawah sebagai catatan kaki. Saya namakan karya ini dengan Al-Tadzhîb fî Adillah Matn al-Ghâyah wa al-Taqrîb, yang berarti: Penyulaman Benang Emas pada Dalil-Dalil Kitab Matn al-Ghâyah wa al-Taqrîb. Dinamakan demikian, karena dalil-dalil itu bagaikan benang-benang emas yang dapat menyulam hukum-hukum syariat dan menyongketnya (menjadi kain yang indah-menawan).
Saya berharap, semoga Allah Swt. menjadikan usaha saya ini sebagai amal yang tulus kepada-Nya dan menerimanya sebagai shadaqah jâriyah (amal yang terus mengalirkan pahala) bagi saya, kedua orangtua saya, dan orang-orang yang berhak menerima kebaikan dari saya. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala yang Dia kehendaki dan Mahapantas untuk mengabulkan tiap harapan.[]
Dr. Musthafa Dib Al-Bugha
Pendahuluan
Bismillâhirrahmânirrahîm
Segala puji milik Allah, Pencipta-Pemelihara semesta. Shalawat (dan salam) semoga tercurahkan untuk Pemimpin kita, Nabi Muhammad Saw., keluarganya yang suci, dan semua sahabatnya.
Al-Qâdhî Abû Syujâ‘ bin Al-Husain bin Ahmad Al-Ishfahânî r.a. berkata, “Saya diminta oleh beberapa teman (ulama) yang selalu dijaga Allah untuk menyusun karya yang ringkas (mukhtashar)* di bidang fiqih Mazhab Imam Syafi‘i—semoga rahmat dan ridha Allah selalu tercurah untuknya—dalam bentuk yang sangat ringkas (ghâyah ikhtishâr)** dan sangat padat (nihâyah al-îjâz).*** Tujuannya agar orang yang belajar (agama) dapat menyelesaikan pelajarannya dengan cepat dan pelajar pemula mudah untuk menghafalnya. Dalam buku itu, saya diharapkan menyajikan klasifikasi topik dan pembahasan yang singkat (hashr al-khishâl).****
Menanggapi permintaan tersebut, saya berusaha memenuhinya sambil memohon pahala (di sisi Allah), serta berharap diberi pertolongan (taufîq) untuk menemukan kebenaran. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala yang Dia kehendaki. Dia Mahalembut dan Maha Mengetahui perbuatan hamba-hamba-Nya.[]
* Mukhtashar: kosakatanya sedikit, tetapi maknanya banyak.
** Ikhtishâr: ringkas; melalui jalan terdekat untuk sampai pada tujuan.
*** Îjâz: maknanya berdekatan dengan ikhtishâr. Dalam kitab Al-Mishbâh al-Munîr fî Gharîb Syarh al-Kabîr disebutkan: “Wajuza al-lafzh wajâzatan, fa-huwa wajîz,” artinya: kata yang padat atau pendek sehingga cepat dipahami. Kata al-ghâyah dan al-nihâyah memiliki makna yang mirip, yaitu puncak sesuatu yang dapat dicapai.
**** Khishâl, jamak khashlah: maksudnya, persoalan-persoalan fiqih yang banyak dibutuhkan.
Bab 1
Bersuci (Thahârah)
Air untuk Bersuci
Air yang boleh digunakan untuk bersuci ada tujuh macam, yaitu air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, air es, dan air embun1.
1 Secara ringkas dapat dikatakan bahwa air yang dapat digunakan untuk bersuci adalah air yang keluar dari tanah (bumi) atau yang turun dari langit.
Dalil pokok bersuci dengan air yang dibolehkan adalah beberapa ayat Al-Quran dan Hadis Nabi Saw., antara lain:
1. Firman Allah Swt.
.… Dan Allah menurunkan kepadamu air (hujan) dari langit untuk menyucikan kamu dengan air itu .... (QS Al-Anfâl [8]: 11)
2. Hadis Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. berikut:
“Seorang sahabat bertanya kepada Nabi Saw., ‘Wahai Rasulullah, kami pernah berlayar di lautan, dan kami hanya membawa sedikit air. Jika air itu kami gunakan untuk berwudhu, kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudhu dengan air laut?’ Rasulullah Saw. menjawab, ‘Laut itu airnya suci dan bangkainya halal.’” Al-Tirmidzi berkata: Kualitas hadis ini hasan sahih. (Abu Dawud, Al-Thahârah, Bab “Al-Wudhû’ bi Mâ’i al-Bahr”, hadis no. 83; Al-Tirmidzi, Al-Thahârah, Bab “Mâ Jâ’a fî Mâ’i al-Bahr Annahû Thahûr”, hadis no. 69; Al-Nasa’i, Al-Thahârah, Bab “Fî Mâ’i al-Bahr”, hadis no. 259, Al-Miyâh, Bab “Al-Wudhû’ bi Mâ’i al-Bahr”, hadis no. 332; Ibnu Majah, Al-Thahârah wa Sunnatuhâ, Bab “Al-Wudhû’ bi Mâ’i al- Bahr”, hadis no. 386).
Maksud “bangkainya halal” adalah semua ikan dan sejenisnya yang mati di dalam laut halal dimakan tanpa harus disembelih terlebih dahulu dengan cara yang dibenarkan syariat.
SKU | NA-211 |
ISBN | 978-602-385-915-3 |
Berat | 960 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 17 Cm / 24 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 672 |
Jenis Cover | Hard Cover |