“Dunia begitu digdaya di hati mereka, sehingga mereka tidak lagi melihat harapan yang lebih besar daripada itu. Pada saat yang sama, Al-Haqq (Allah) begitu kecil di dalam jiwa mereka, sehingga mereka segera pergi meninggalkan-Nya.”
--Ibn ‘Arabi
***
Ibn ‘Arabi (1165-1240), yang dikenal dengan gelar Muhyiddîn (Revivalis Agama) dan Syaikh Akbar (Sang Mahaguru) merupakan seorang sufi, penyair, filsuf, dan penulis yang sangat terkenal dalam perkembangan tasawuf dan salah satu guru spiritual terhebat di dunia.
Ratusan buku telah ditulis oleh Ibn ‘Arabi. Buku ini dianggap istimewa dan mendapat banyak pujian dibanding buku-buku Ibn ‘Arabi lainnya yang sangat filosofis, justru karena penjelasannya yang mudah dicerna dan dipahami.
Pada buku ini, Ibn ‘Arabi memaparkan suatu introspeksi jiwa yang didapatkan dari hasil wisata spiritualnya melalui pengalaman dalam mengembara dan berdialog dengan berbagai "sumber", baik Al-Qur’an, Nabi, sahabat, tabiin, maupun tokoh sufi yang sempat dijumpai Ibn ‘Arabi secara langsung.
RIWAYAT HIDUP IBN ‘ARABI
Kaum muslimin melakukan ekspansi ke Andalusia pada Ramadhan 92 H. Lalu, secara berturut-turut, Andalusia dan negeri-negeri Islam bagian Barat lainnya berada dalam kekuasaan Dinasti Umawiyah, lalu dikuasai oleh Muluk Al- Thawa’if (kerajaan wangsa raja-raja kecil), kemudian digantikan oleh Dinasti Murabithun yang menjadikan
Marrakesh sebagai ibu kotanya. Pada 537 H, Murabithun tumbang dan kekuasaan beralih di bawah kendali Dinasti Muwahhidun.
Pasukan yang ikut melakukan ekspansi ke Andalusia sebagian berasal dari Yaman. Dan, ketika suasana sudah damai, sebagian keluarga-keluarga Arab Yaman berdiaspora ke Andalusia untuk tinggal di sana dan menjaga benteng perbatasan. Sejarawan Al-Maqarri menginformasikan, kawasan selatan Murcia menjadi pilihan tempat tinggal mereka. Dari keturunan keluarga yang ikut berdiaspora itu kelak lahir sosok besar yang kita kenal sebagai mahaguru kaum sufi, Muhyiddin Ibn ‘Arabi.
Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Al-Tha’i Al-Hatimi. Dikenal dengan nama panggilan “Abu Abdillah”, bergelar “Muhyiddîn” (Revivalis Agama), dan lumrah dikenal dengan sebutan “Al-Hatimi”. Namun, nama panggilannya yang paling masyhur adalah “Ibn Al-‘Arabi”—dengan alif lam, sebagaimana tertulis dalam semua manuskrip yang berasal dari tulisan tangannya sendiri, juga dalam tulisan murid-muridnya; bukan tanpa alif lam “Ibn ‘Arabi” sebagaimana dikenal pada masa setelahnya yang, konon, diinisiasi oleh orangorang dari Timur. Gelar kehormatan yang disematkan kepadanya terutama adalah “Al-Syaikh Al-Akbar” (Sang Mahaguru).
Ibn ‘Arabi lahir pada Senin 17 Ramadhan 560 H (26 Juli 1165), di Murcia, Timur Andalusia, pada masa pemerintahan Abu Abdillah Muhammad bin Sa’d bin Mardanisy. Ayah Ibn ‘Arabi diberi tanggung jawab mengorganisasi tentara kerajaan. Ketika Ibn Mardanisy meninggal, dan Murcia beralih di bawah kekuasaan Muwahhidun, ayah Ibn ‘Arabi pindah ke Sevilla bersama anggota keluarganya pada 568 H/1172 M. Beliau juga masih dipercaya memegang tugas yang sama pada masa pemerintahan Abu Yakub Yusuf bin Abdul Mukmin dan pada masa kekuasaan anaknya, hingga ayah Ibn 'Arabi meninggal pada 590 H/1194 M. Meski dekat dengan pusat kekuasaan, ayah Ibn ‘Arabi dikenal sebagai pribadi yang warak dan bertakwa. Nasabnya bersambung kepada Abdullah bin Hatim, yang merupakan saudara dari ‘Adi bin Hatim, seorang sahabat Nabi yang meninggal pada 68 H. Ayah Ibn ‘Arabi bukan saja gemar bersilaturrahim kepada para wali dan orang-orang saleh, namun juga bersahabat dengan para cerdik cendekia, terutama dengan seorang ahli fikih, dokter, dan filsuf besar Muslim Ibn Rusyd. Menjelang akhir hayatnya, sang ayah menekuni jalan keruhanian hingga mencapai maqam yang tinggi dalam kewalian. Terlihat betapa Ibn ‘Arabi membentangkan jalan untuk ayahnya mengenal dan bertemu dengan para wali Allah, seperti Syaikh Abu Muhammad Abdullah Al-Qaththan, Syaikh Abu Muhammad Makhluf Al-Qabayili, juga termasuk Syaikh Abdul Aziz Al-Mahdawi. Sang ayah meninggal di Sevilla pada saat Ibn ‘Arabi berusia 30 tahun, dan pada tahun yang sama dia melakukan perjalanan ke Tunis.
Ibunda Ibn ‘Arabi bernama Nur, leluhurnya berasal dari Yaman dari klan Khaulan dan merupakan keturunan dari sahabat Anshar. Sepeninggal sang ayah, ibunya dan kedua saudarinya (Ummu Sa’d dan Ummu Al-‘Ala’) dirawat oleh Ibn ‘Arabi, sampai sang ibunda meninggal dunia. Ibn ‘Arabi sangat menyayangi dan berbakti kepada ibunya. Dia tak pernah pergi kecuali mendapatkan izin ibunya, dan dia hanya melakukan perbuatan yang membuat ibunya ridha. Dari catatannya, sebagaimana yang dilakukannya kepada sang ayah, Ibn ‘Arabi juga mengajak ibu dan dua saudarinya berkunjung kepada para wali untuk meningkatkan kesadaran spiritual mereka. Seperti yang dituliskannya dalam Al-Futûhât Al-Makkiyyah, Ibn ‘Arabi mempertemukan ibunya dengan seorang wali perempuan agung, yang juga disebut dalam Risalah ini, Nunah Fathimah binti Ibn Al-Mutsanna, yang pernah berkata, “Aku adalah ibu ruhanimu, sedangkan Nur adalah ibu fisikmu.” Ketika ibunya berkunjung, syaikh perempuan ini berkata, “Wahai Nur, ini adalah anakku, dan sekaligus ayah (spiritual bagi)-mu. Berbuat baiklah kepadanya,
SKU | NA-246 |
ISBN | 978-623-242-335-0 |
Berat | 300 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 14 Cm / 21 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 316 |
Jenis Cover | Soft Cover |