Buku Manusia Tanpa Sekolah - Rony K… | Mizanstore
Ketersediaan : Tersedia

Manusia Tanpa Sekolah

    Deskripsi Singkat

    Setiap pembelian buku Manusia Tanpa Sekolah selama periode 24 Maret - 2 April 2023 berkesempatan mengikuti Webinar On--line bersama - Penulis Buku Manusia Tanpa Sekolah - Rony K. Pratama - Pendiri Sekolah Alam - Toto Rahardjo - Dosen Pendidikan Bhs. Inggris UNY - Febi Puspitasari   Konsep sekolah yang memerdekakan… Baca Selengkapnya...

    Rp 89.000 Rp 75.650
    -
    +

    Setiap pembelian buku Manusia Tanpa Sekolah selama periode 24 Maret - 2 April 2023 berkesempatan mengikuti Webinar On--line bersama

    - Penulis Buku Manusia Tanpa Sekolah - Rony K. Pratama

    - Pendiri Sekolah Alam - Toto Rahardjo

    - Dosen Pendidikan Bhs. Inggris UNY - Febi Puspitasari

     

    Konsep sekolah yang memerdekakan bukan lagi impian. Toto Raharjo mewujudkannya lewat SALAM, Sanggar Anak Alam. Sejak awal, SALAM berani menggunakan ideologi pendidikan dan kurikulum yang berbeda dari yang disahkan pemerintah. Itu sebabnya SALAM menjadi laboratorium pendidikan yang kerap dikunjungi para pemerhati pendidikan di Indonesia.

    Hampir tiga dekade ia bergiat di ranah pemberdayaan masyarakat, yang mau tak mau melibatkan anak muda di dalamnya.  Banyak hal yang dia geluti, dari pendidikan, budaya hingga masyarakat pedesaan. Pemikiran-pemikirannya membawa banyak kemajuan di berbagai bidang yang ia sentuh. 

    Lugas dalam menggagas, dan tulus tanpa keluh, sosok Toto Raharjo terbilang langka di zaman yang pragmatis ini. Dalam Manusia Tanpa Sekolah, Rony K. Pratama memaparkan jejak-jejak genealogis pemikiran Toto Raharjo hingga mewujud dalam karya-karya kemasyarakatan tanpa pamrih. 

    Tentang Rony K Pratama

    Rony K Pratama

    Rony K. Pratama menyelesaikan studi sarjana di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Selanjutnya menyelesaikan pendidikan pascasarjana di Program Studi Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada.

    Ranah penelitian yang ditekuninya adalah pedagogi kritis, kajian media, kajian budaya, dan digital humanities. Buku termutakhirnya berjudul Genealogi Hoaks Indonesia (EA Books Mojok, 2021). Tulisan lepasnya juga bertengger di sejumlah media, seperti Kompas, The Jakarta Post, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Harian Analisa, Pewara Dinamika, dan media cetak ataupun daring lain




    Keunggulan Buku

     

    • Menyajikan genealogi pemikiran seorang tokoh pendidikan dan gerakan sosial, Toto Raharjo
    • Buku ini ditulis ulang berdasarkan hasil wawancara dengan sentuhan narasi yang mudah dicerna
    • Pembaca akan mendapatkan banyak wawasan baru terkait dunia gerakan sosial

     

    KATA PENGANTAR

    SEKOLAH YANG MENTASBIHKAN ALAM

    Oleh Emha Ainun Nadjib

     

    Sahabat saya Toto Rahardjo, bukan tanpa dasar dipanggil dengan “Kiai Tohar” oleh kalangan Jamaah Maiyah. “Kiai” bukan wacana Islam. “Kiai” bersumber dari kebudayaan bahasa Jawa yang dipakai untuk menyebut atau menggelari atau memanggil seseorang yang disimpulkan sebagai manusia “sepuh”. Orang yang tua pengalaman hidupnya, matang ilmu dan pengetahuannya, serta penuh pengayoman sikap dan peletakan sosialnya di masyarakat. “Kiai” bagi masyarakat Jawa adalah seseorang, bahkan suatu eksistensi di tengah mereka yang disimpulkan memiliki kelebihan batin dan keistimewaan sikap hidup dibanding rata-rata masyarakatnya.

    Kiai Tohar nongol di Patangpuluhan sekitar pertengahan era 1980-an. Wajahnya, tutur katanya, sikap-sikapnya kepada sesama manusia, sudah sangat dan selalu “sepuh” atau “tua” jauh sebelum usia tuanya. Kiai Tohar faktanya adalah “Kiai Patangpuluhan”. Orang tua yang mengayomi semua komunitas Patangpuluhan. Saya mungkin hanya “sumber energi” mereka, tetapi Kiai Tohar-lah yang “dikiaikan”.

    Ekspresinya selalu “temuwo”. Tidak pernah berkata-kata dengan volume tinggi. Tidak mungkin berucap kasar. Beliau “glendam-glendem” dan estetika ekspresinya sangat berjodoh atau kompatibel dengan latar belakang “ngapak”-nya dari Lawen Banjarnegara, Jawa Tengah bagian barat. Dan, siapa saja yang mengenal latar belakang keluarganya, di mana bapak beliau adalah lurah desa dalam waktu yang lama, ibu beliau adalah ibu Jawa sejati, termasuk pilihan istrinya yang juga berwatak sama sangat berjodoh dengan itu semua secara estetika komunikasi, peta budaya maupun perjuangan ideologis mereka.

    Bu Wahya, istri Kiai Tohar, bagaikan “wahyu” Tuhan yang memang secara spesifik dianugerahkan kepada suaminya. Saya dan kami semua bergaul dengan mereka berpuluh-puluh tahun tanpa cacat sedikit pun. Apa pun yang kami alami tidak pernah menjadi trigger benturan. Ada satu dua perbedaan pendapat. Namun, tidak pernah merenggangkan kemesraan komunikasi kami. Kiai Tohar pernah sangat keras tidak menyetujui saya memenuhi undangan Pangdam Diponegoro Jateng Mayjen Suyono pada hari-hari ketika saya dicekal tidak boleh masuk apalagi beracara di Jawa Tengah. Tetapi, saya tetap berangkat ke Semarang dengan wacana dan dalil saya sendiri dari Islam. Dan, sesudahnya kejadian itu tidak membuat kami menjadi renggang atau terpecah dalam melanjutkan perjuangan kerakyatan yang memang kami teguhi bersama-sama. 

    Kiai Tohar adalah pencinta rakyat kecil persis ibu saya sendiri, “Ibuk” Halimah di Menturo. Kasih sayang Kiai Tohar kepada “wong cilik”, kepada rakyat kecil, komitmennya, rasa tidak teganya, saya persaksikan selama puluhan tahun merupakan contoh dari penisbahan Allah sendiri kepada hatinya Kanjeng Nabi Muhammad Saw.

    “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa oleh hatinya penderitaanmu, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS At-Taubah [9]: 128)

    Pada masa kanak-kanak saya hampir setiap sore Ibu mengajak saya berkeliling Menturo, mendatangi terutama para tetangga yang paling miskin hidupnya. Ibu biasanya langsung mengunjungi dapurnya lewat pintu samping atau belakang. Omong-omong dengan ibu tuan rumah, menanyakan keadaannya, bagaimana membayar sekolah anak-anaknya, masih punya beras atau tidak, pakaian anak-anaknya apa masih bisa dipakai.

    Maka di Patangpuluhan, yang selalu menjadi “jujugan” rakyat kecil yang mengalami kesulitan, buangan-buangan dari terminal bus atau Stasiun Tugu dan Lempuyangan, yang entah bagaimana ceritanya sehingga mereka njujug ke Patangpuluhan. Maka, Kiai Tohar-lah pintu gerbang kasih sayang dan pertolongannya.

    Seorang pemuda yang usianya menjelang tua dari Surabaya ditampung oleh Kiai Tohar dan dibawa ke Desa Lawen untuk “sekolah alam” dan bekerja di sawah. Juga tetangga saya di Menturo bekerja bikin mebel dinikahkan oleh Kiai Tohar dengan salah seorang gadis Desa Lawen dan mereka berdua langgeng persuami-istriannya sampai sekarang. Markesot datang ke Patangpuluhan, Kiai Tohar yang mengupayakan pendirian Bengkel Motor untuk kegiatan harian Markesot.

    Memang kenyataannya Markesot sama “manusia sejati”-nya dengan Kiai Tohar sendiri. Markesot buka bengkel untuk memperbaiki motor, bukan untuk mencari laba, memprovokasi konsumen untuk membeli spare part baru dan dia “mbathi”. Kalau ada motor rusak, Markesot secara sangat genius memulihkannya, dan bagi dia itu adalah amal saleh, sehingga si empunya motor tidak boleh membayar. “Mosok gitu saja mbayar.”

    Demikianlah juga Kiai Tohar sendiri. Seorang pejuang rakyat yang tidak meminta upah atas perjuangannya. Toto tidak makan nasi dan meminum kopi dari hasil kapitalisme perjuangannya. Bersama Bu Wahya, Kiai Tohar mendirikan “SALAM”, Sekolah Anak Alam, dan tidak melakukannya untuk berdagang. Yang menjadi fokusnya adalah pendidikan anak-anak manusia supaya menjadi manusia. Beliau berdua tidak menyerap perekonomian anak-anak didik dan para orang tua mereka. Padahal, setiap sekolah yang maju dan bisa bersinar membikin bangunan-bangunan besar adalah hasil dari kepandaiannya berjual beli di bidang pendidikan, kecanggihan manajemennya di dalam menyerap akses ekonomi masyarakat yang memerlukan “membeli” pendidikan bagi anak-anaknya.

    Saya melihat tidak kebetulan sekolahnya Kiai Tohar dan Bu Wahya bernama SALAM. Singkatan dari Sanggar Anak Alam. Tetapi, memang sifat Allah “As-Salam”, yang maha menyelamatkan, mestinya diejawantahkan oleh manusia-manusia khalifah menjadi Sanggar Anak Alam. Di seluruh dunia, sekolah dan universitas adalah anak kebudayaan manusia. Namun, SALAM adalah Sanggar Anak Alam. Alam adalah ciptaan Tuhan, budaya adalah bikinan manusia. Sekolah di seluruh dunia adalah bikinan manusia, sementara SALAM adalah anak alam. Tanazzul dan akselerasi dari konsep Tuhan sendiri.

    “SALAM meyakini, bahwa untuk menyelenggarakan pendidikan tidaklah cukup hanya dilakukan di dalam ruang kelas antara guru dan siswa. Maka, diperlukan proses belajar yang secara holistik terbangun relasi dengan orang tua murid dan lingkungan setempat. Maka, proses belajar merupakan gerakan untuk menemukan nilai-nilai serta pemahaman hidup yang lebih baik?itulah hakikat dari “Sekolah Kehidupan”. Menciptakan kehidupan belajar yang merdeka di mana seluruh proses pendidikan dibangun atas dasar kebutuhan kolektif, berangkat dari kesepakatan bersama seluruh warga belajar.”

    SALAM adalah proses pembelajaran kehidupan agar manusia mentasbihi Tuhan dan mentasbihkan alam ciptaan-Nya.

    SALAM bukan ruangan yang diisi oleh anak-anak manusia yang pura-pura mencari ilmu, padahal keberangkatannya adalah takut tidak makan di masa depan, cemas terhadap penghidupannya, sehingga bersekolah agar mendapatkan kunci untuk mencari lapangan kerja. Mengaku mencari ijazah dan gelar, padahal aslinya mencari pekerjaan. Mengaku mencari pekerjaan, padahal faktanya mencari uang.

    Itu bukanlah prinsip dan pendekatan SALAM kepada anak-anak SALAM-nya. SALAM sebagai Laboratorium “Sekolah Kehidupan” perhatian utama dititikberatkan pada kebutuhan dasar manusia yakni: Pangan, Kesehatan, Lingkungan, dan Sosial Budaya. Maka, SALAM mengambil tema itu sebagai perspektif yang bisa dikembangkan dalam proses pembelajaran sehari-hari. Dan, itu semua adalah kunci untuk membuka kehidupan dan penghidupan di masa depan. Anak-anak SALAM tidak dididik untuk mengaku cari ilmu, padahal cari ijazah dan gelar. Tidak dididik untuk berlagak mencari ijazah, padahal mencari pekerjaan. Juga tidak dididik untuk menipu diri dengan mencari pekerjaan, padahal sebenarnya mencari uang.

    Kalau pakai narasi Al-Qur`an: anak-anak SALAM diatmosferi oleh suatu habitat kependidikan untuk “yusabbihuna bihamdi Rabbihim”. Bertasbih atau mentasbihkan pujian kepada Tuhan. “Sabbaha lillahi ma fissamawati wama fil ardli”. Tidak secara kognitif atau dogmatis, anak-anak SALAM tersituasikan oleh pengalaman keanak-alamannya menjadi manusia yang mentasbihkan pujian kepada Tuhan. 

    “Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.”
    (QS An-Nasr [110]: 3)

    SALAM membangun ekosistem belajar jauh lebih penting daripada sibuk dengan teknik-teknik belajar yang kini marak sebagai komoditas sekolah bagi para siswa dan orang tua yang keblinger pada dorongan “kesuksesan”.

    Tanpa bersolek dengan gincu-gincu keagamaan, tanpa pencitraan tampil sebagai sekolah religius, tanpa mengubah SALAM menjadi As-Salam, sebagaimana sekolah-sekolah Al-Azhar, Al-Izhar, Ar-Rahman Islamic School, dan macam-macam lagi, SALAM mengantarkan anak-anaknya untuk jangan begitu saja secara naif dan dungu menerima kosakata “kesuksesan”.

    Kiai Tohar yang kesehariannya sepenuh-penuhnya tampak “abangan”, tidak pernah mempretensikan nilai-nilai Islam dalam narasi komunikasinya, tatkala berumrah bersama KiaiKanjeng, dipertunjukkan oleh Allah “kasepuhan”-nya dengan kiai muda Muhammad Zainul Arifin dan Kiai Islamiyanto ke sana kemari berada dalam bimbingan Kiai Tohar. Bahkan, almarhum bapak beliau menemui Kiai Tohar sehingga beliau mengumrahkan bapaknya dengan mengambil miqat lagi sesudah umrah untuk dirinya sendiri.

    Akan tetapi jangan lupa, di antara semua cendekiawan Muslim, bahkan termasuk para ulama dan kiai-kiai Islam di Nusantara, tidak ada hamba Allah yang begitu terpesona secara keindahan dan terpukau secara “social engineering” oleh Piagam Madinah melebihi Kiai Tohar. “At-Tsaqafah Al-Madaniyah” beserta keteladanan sosial politik, budaya, ekonomi, dan tata pengelolaan pemerintahan dari Rasulullah Muhammad Saw., yang bahkan sama sekali tidak menjadi perhatian utama para pemimpin kaum Muslim di negeri ini dan di seluruh dunia. Tidak dilirik oleh NU, Muhammadiyah, atau golongan-golongan lain dari kaum Muslim. Kiai Tohar selama di Madinah bahkan melakukan riset serius atas peradaban Madinah.

    Resensi

    Spesifikasi Produk

    SKU BS-545
    ISBN 978-602-291-957-5
    Berat 220 Gram
    Dimensi (P/L/T) 13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm
    Halaman 268
    Jenis Cover Soft Cover

    Produk Rony K Pratama

















    Produk Rekomendasi