Pada suatu hari ada seseorang mendatangi Nabi Muhammad Saw., kemudian berkata, "Ya Rasulullah, pada Hari Kiamat, ingin sekali aku dikumpulkan dalam cahaya."
Rasulullah pun bersabda, "Janganlah engkau menzalimi siapa pun. Engkau akan dikumpulkan pada Hari Kiamat nanti di dalam cahaya."
Ketika Rasulullah ditanya. "Amal apa yang paling utama?" Beliau menjawab, "Seutama-utama amal ialah memasukkan rasa bahagia pada hati orang yang beriman,
yaitu dengan melepaskannya dari rasa lapar, membebaskannya dari kesulitan, dan membayarkan utang-utangnya."
Itulah sebagian riwayat yang dikutip dari kitab-kitab hadis yang disajikan dan diulas dengan indah oleh Jalaluddin Rakhmat dalam buku ini. Melalui pendekatan sufistik (tashawwuf), penulis berusaha menunjukkan kepada para pembaca bagaimana menyesuaikan diri kita dengan perintah-perintah Allah (muwâfaqah); bagaimana menghidupkan kecintaan kita kepada Rasulullah Saw., para imam yang suci, dan saling menyayangi di antara sesama hamba Allah (munâshahah); bagaimana membantah tuntutan hawa nafsu (mukhâlafah); serta bagaimana memerangi setan (muhârabah). Sebuah buku yang ditulis dengan cara pendekatan yang unik dari seorang cendekiawan Muslim terkemuka.
KATA PENGANTAR
Ketika Islam Aktual dibahas di kantor ICMI di Jakarta, Mas Cip (Sutjipto Wirosardjono) mengatakan bahwa yang dia temukan di buku itu hanyalah kumpulan khutbah seorang mubalig. Mas Cip benar. Saya memang bukan pemikir, yang tertarik (atau mampu) membuat buku-buku tebal tentang Islam. Saya juga bukan ulama, yang senang (atau sanggup) membahas suatu persoalan dengan mendalam dan terperinci. Saya hanyalah orang awam, yang ingin membagikan ketidaktahuan saya kepada saudara-saudara saya. Dengan cara itu, saya belajar lebih efektif.
Lebih dari seribu tahun yang lalu, di Arafah, Nabi Saw. berkhutbah. Beliau berbicara sepenggal-sepenggal, paragraf demi paragraf. Sebelum setiap penggalan, beliau bersabda, “Wahai manusia, dengarkan pembicaraanku dan pikirkan baik-baik.” Setiap kalimat diulangi oleh seorang sahabat supaya didengar oleh orang-orang di sekitarnya; ulangan sahabat itu diulang lagi oleh sahabat berikutnya. Begitulah seterusnya, sehingga pesan Nabi Saw. dapat didengar oleh orang yang paling jauh dari beliau. Kemudian, Nabi Saw. mengakhirinya dengan berkata, “Falyuballigh al-syâhidu al-ghâ’iba. Farubba muballagh au‘â min sâmi‘. Hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. Banyak sekali penyampai (mubalig) yang lebih mampu menyimpan pembicaraanku daripada orang yang sekadar mendengarkannya saja.”
Saya adalah mubalig, sang penyampai; dengan harapan lebih dapat menyimpan ajaran Rasulullah Saw. Bila para sahabat mengulang kembali pesan Nabi supaya didengar oleh orang-orang yang berdekatan secara geografis, saya menyampaikan pesan Nabi Saw. untuk orang-orang yang berdekatan dengan saya dalam ruang dan waktu. Tapi, ketika Mizan menerbitkannya, saya sudah melintas ruang dan waktu. Buku ini sebetulnya merupakan kumpulan ceramah saya yang ditranskripsikan. Ada perulangan dalam kata, kalimat, juga tema pembicaraan. Saya berusaha menyuntingnya kembali di Canberra, Australia, di suatu tempat ketika kitab-kitab rujukan tidak berada di sekitar saya. Karena itu, boleh jadi Anda menemukan terjemahan hadis yang tidak cermat. Dalam ceramah, penjelasan tentang hadis sering disebutkan bersamaan dengan hadisnya. Walaupun demikian, saya menyebutkan sumber-sumbernya supaya Anda dapat menemukan hadis dalam muatan aslinya.
Saya orang awam dan buku ini ditujukan kepada orang awam juga. Saya orang sederhana, memilih tema-tema sederhana dan menyampaikannya dengan bahasa yang sederhana juga. Bagi para pembaca yang “pintar”, ahli-ahli agama (seperti ahli hadis, tafsir, tasawuf, atau apa saja), sebaiknya tidak membaca buku ini. Kalaupun mereka membaca dengan maksud mengkritiknya, mereka menghabiskan waktu saja. Lebih baik mereka menulis buku tebal untuk menambah pengetahuan saya dan para pembaca saya. Saya tidak membenci kritik. Saya justru menyukainya. Yang tidak saya sukai ialah menggunakan ukuran yang berbeda untuk satu buku yang harus dinilai dengan ukuran tertentu. Tidak adil jika Anda menguji anak SD dengan tes yang seharusnya diberikan buat anak SMA, apalagi dengan tes universitas. Tidak adil juga menilai buku mubalig dengan kriteria yang dipakai untuk mengadili buku pemikir.
Buku ini berisi renungan-renungan sufistik. Tapi, Anda tidak adil jika membayangkan buku ini menyajikan renungan sufistik seperti ‘Awârif Al-Ma‘ârif dari Suhrawardi, Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn dari Al-Ghazali, atau apalagi Al-Futûhât Al-Makkiyyah dari Ibn Arabi. Kata sufistik harus diartikan “kesufi-sufian” saja; mirip kata tasawuf yang berarti “bersufi-sufian”. Anda akan menemukan beberapa tulisan yang kelihatannya tidak ada hubungannya sama sekali dengan sufi. Kalau saya harus mempertanggungjawabkan judul buku ini, saya akan memberikan jawaban sederhana. Saya mengambil definisi sufi dari Dzun Nun Al-Mishri (dia, sih, sufi beneran). Menurutnya, kehidupan sufi ditegakkan di atas empat tonggak: (1) Jangan bergaul dengan Allah, kecuali dengan muwâfaqah; (2) Jangan bergaul dengan makhluk, kecuali dengan munâshahah; (3) Jangan bergaul dengan nafsu, kecuali dengan mukhâlafah; (4) Jangan bergaul dengan setan, kecuali dengan muhârabah. Buku ini berusaha menunjukkan kepada pembaca bagaimana menyesuaikan diri kita dengan perintah-perintah Allah (muwâfaqah), bagaimana menghidupkan kecintaan kepada Rasulullah Saw. para imam yang suci, dan saling menyayangi di antara sesama hamba Allah (munâshahah), bagaimana membantah tuntutan hawa nafsu (mukhâlafah), serta bagaimana memerangi setan (muharabah). Tasawuf tidak lain hanyalah adab pergaulan (muamalah). Ah, ini penyederhanaan lagi.
Simplex veri sigillum. Kesederhanaan adalah tanda kebenaran. Kata mutiara ini makruf di kalangan filsuf. Buat saya, kata ini menghibur saya untuk menjustifikasi keawaman saya. Saya sedang berusaha melahirkan karya-karya besar. Yang lahir ternyata hanya satu karya dan tidak besar. Yang lahir akhirnya kicauan mubalig saja. Maaf.
Bandung, 25 Rabi‘ Al-Awwal 1415 H
Jalaluddin Rakhmat
1. Berisi pelajaran-pelajaran spiritual penuh makna dari Rasulullah Saw., yang relevan hingga masa kini.
2. Terdiri dari enam bagian:
- Pertama: Mencari Kenikmatan Shalat
- Kedua: Berusaha Menjadi Kekasih Allah
- Ketiga: Tiga Hari Bersama Penghuni Surga
- Keempat: Meninggalkan Takabur Menuju Tasyakur
- Kelima: Belajar Mengikhlaskan Amal
- Keenam: Bergabung Bersama Kafilah Rasulullah
3. Ditulis oleh salah satu cendekiawan Muslim Indonesia ternama
Endorsement:
"Jalaluddin Rakhmat adalah seorang intelektual yang komplet."
—Nurcholish Madjid, Pendiri Yayasan dan Universitas Paramadina
"Jalaluddin Rakhmat sangat produkti menuangkan pikirannya dan memberikan jawaban alternatif."
—Said Aqil Siroj, Ketua PBNU 2010-2015 & 2015-2020
“Jalaluddin Rakhmat adalah salah satu the best mind Indonesia.”
—Ulil Abshar Abdalla, Ketua Lakpesdam PBNU 2022-2027
“Kang Jalal adalah cendekiawan Muslim yang produktif menulis
dengan tulisan yang menarik, ceramah-ceramahnya juga memikat.”
—Prof. Dr. H. Haedar Nasir, M.Si., Ketua Umum PP Muhammadiyah 2015-2020
SKU | UA-257 |
ISBN | 978-602-441-283-8 |
Berat | 340 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 16 Cm / 24 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 296 |
Jenis Cover | Soft Cover |