Buku SERIBU MASJID SATU… - Emha Ainun… | Mizanstore
Ketersediaan : Tersedia

SERIBU MASJID SATU JUMLAHNYA

    Deskripsi Singkat

    Bahkan seribu masjid, sejuta masjid Niscaya hanya satu belaka jumlahnya Sebab tujuh samudra gerakan sejarah Bergetar dalam satu ukhuwwah Islamiyyah Dalam buku ini, pembaca akan mendapati ungkapan cinta seorang manusia kepada sesamanya dan Penciptanya. Meskipun tetap dengan nada yang kadang menusuk tajam—karena sarat kritik atas kehidupan sosial kita yang pincang—kelima… Baca Selengkapnya...

    Rp 69.000 Rp 35.000
    -
    +

    Bahkan seribu masjid, sejuta masjid
    Niscaya hanya satu belaka jumlahnya
    Sebab tujuh samudra gerakan sejarah
    Bergetar dalam satu ukhuwwah Islamiyyah


    Dalam buku ini, pembaca akan mendapati ungkapan cinta seorang manusia kepada sesamanya dan Penciptanya. Meskipun tetap dengan nada yang kadang menusuk tajam—karena sarat kritik atas kehidupan sosial kita yang pincang—kelima puluh proisi yang tampil di sini mencuatkan kepekaan dan kedalaman pemikiran seorang seniman dalam menangkap ayat-ayat Tuhan.


    Assalamu‘alaikum

    Di penghujung 1989, saya berusaha “mencuri” kesempat­an untuk menghimpun puisi-­puisi yang selama beberapa tahun ini pada umumnya hanya saya publikasikan secara lisan, yakni membacakannya di berbagai forum dan kalangan masyarakat—di berbagai kota, daerah, pulau—rata­-rata tiga kali sebulan.
    Pengumpulan yang saya lakukan berdasarkan jenis nu­ansa, wilayah tema, konteks, serta proyeksi terhadap “segmen pasar” pendengar atau pembaca.
    Ada kumpulan puisi sosial yang biasanya untuk para ma­hasiswa. Ada kumpulan puisi cinta buat peristiwa-­peristiwa khusus. Ada puisi yang—katakanlah—eksklusif individual, yang nuansanya amat pribadi tapi ternyata memuat juga re­fleksi-­refleksi sosial.
    Dan Seribu Masjid, Satu Jumlahnya adalah puisi­-puisi yang selama ini saya pergaulkan dengan berbagai jamaah kaum Muslim di berbagai tempat. Pola ungkap dan idiom-­idiom yang saya gunakan, bahkan keseluruhan substansi dan bentukannya saya usahakan orientatif dan kontekstual ter­hadap alam kehidupan mereka.
    Kemudian di samping kumpulan Lautan Jilbab yang telah terbit pada 1989 ini, yang belum berhasil saya selesaikan sejak 1984 adalah Syair Al-Asma’ Al-Husna’. Sangat berat menuliskannya.
    Sebagian dari puisi­-puisi Seribu Masjid, Satu Jumlahnya ini, merupakan hasil revisi final dari beberapa puisi yang—di samping saya publikasikan secara lisan—pernah termuat da­lam semacam penerbitan darurat dan lepas untuk kepentingan acara tertentu.
    Beribu syukur kepada Allah, pemilik segala ilmu dan satu-­satunya pelontar ilham. Terima kasih berat kepada semua ikhwan dan akhwat, kepada seluruh alam dan malaikat, atas kemesraan kerja sama dalam usaha mengkhalifahi kehendak-­kehendak Allah.

    Wassalam
    Emha Ainun Nadjib

     

    Seribu Masjid
    Satu Jumlahnya



    Satu
    Masjid itu dua macamnya
    Satu ruh, lainnya badan
    Satu di atas tanah berdiri
    Lainnya bersemayam di hati

    Tak boleh hilang salah satunya
    Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
    Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
    Masing-­masing kepada Tuhan tak bisa bertamu


    Dua
    Masjid selalu dua macamnya
    Satu terbuat dari bata dan logam
    Lainnya tak terperi
    Karena sejati


    Tiga
    Masjid batu bata
    Berdiri di mana-­mana
    Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
    Timbul tenggelam antara ada dan tiada

    Mungkin di hati kita
    Di dalam jiwa, di pusat sukma
    Membisikkan nama Allah Ta‘ala
    Kita diajari mengenali­-Nya

    Di dalam masjid batu bata
    Kita melangkah, kemudian bersujud
    Perlahan-­lahan memasuki masjid sunyi jiwa
    Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna

    Tubuh kita bertakbir
    Ruh mengagumi­-Nya tanpa suara
    Ruh bersembahyang tanpa gerak
    Menjerit dengan mulut sunyi


    Empat
    Sangat mahal biaya masjid badan
    Padahal temboknya berlumut karena hujan
    Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban
    Tak bisa lapuk karena asma-­Nya kita dzikir-kan

    Masjid badan gampang binasa
    Matahari mengelupas warnanya
    Ketika datang badai, beterbangan gentingnya
    Oleh gempa bumi ambruk dindingnya

    Masjid ruh mengabadi
    Pisau tak sanggup menikamnya
    Senapan tak bisa membidiknya
    Politik tak mampu memenjarakannya



    Negeri Kaum Beribadah

    Di tengah pengembaraan, tibalah aku di sebuah negeri kaum beribadah, namun betapa susah untuk menemukan masjid.
    Sepanjang siang aku menyelinapi kampung­-kampung tanpa menjumpainya, dan jika malam turun termangulah aku di bawah bintang­-bintang.
    Di manakah masjid? Ketika malam berangkat makin jauh memasuki relung sunyi dan cintanya, kembali aku bersandar di pangkal semesta.
    Kemudian tatkala fajar pun merekah, telah berada kembali aku di dunia kecil yang selalu riuh rendah ini sambil tetap bertanya—di mana masjid?
    Siang membakar, aku terduduk lesu di bawah sebatang pohon, hampir tertidur oleh kebuntuan—ketika seorang tua renta berwajah kumuh menghampiriku.
    “Di mana masjid?”—tergagap aku bertanya, dijawab langsung olehnya dengan pertanyaan yang ruwet, “Kenapa engkau bertanya tentang masjid dengan bertanya tentang masjid?”
    Tentulah aku ini sedang berhadapan dengan seseorang yang bingung hidupnya, “Aku bertanya tentang masjid”— kataku—“Bukankah pertanyaanku amat sederhana?”
    Dia tertawa. “Bersujudlah, maka engkau telah mendirikan masjid. Bukankah jawabanku tak kalah sederhana?”
    Kesal aku dibuatnya. “Aku bertanya di mana masjid seperti aku bertanya di mana pasar, di mana gedung pemerintah, di mana sungai atau kamar kecil!”—suaraku mengeras.
    Orang sinting ini pun tertawa riuh, “Alangkah pendek pengembaraanmu! Masjid ialah tempat bersujud. Dan yang namanya tempat itu tidak harus ruang, bangunan, bentuk, dinding, tiang, atau hiasan­-hiasan. Ia bisa saja sebuah per­buatan, sekecil apa pun. Setiap perbuatan untuk Allah adalah masjid bagi nilai hidupmu ....”
    Aku hendak memotongnya karena aku ini tergolong orang yang kurang bisa menghormati siapa pun saja yang berpikiran terlalu mewah. Tapi, kata-­kata lelaki gila itu terus mengguyur bagai hujan—
    “Manusia tak punya hak untuk bertanya tentang masjid, karena dia tak punya kemampuan untuk melihat masjid, kecuali yang bersemayam di dalam dirinya sendiri, karena memang tak ada orang lain yang sanggup melihat apakah seseorang sungguh­-sungguh menyembah Allah atau tidak. Kalau engkau menyaksikan beribu­-ribu orang mensujudkan badannya di bangunan besar berkubah yang disebut masjid, bisa tahukah engkau apakah jiwa mereka sungguh­-sungguh bersujud? ....”
    Kubiarkan dia menyelesaikan guyuran hujannya, “Masjid itu bukan di mana atau tak di mana. Bukan ada atau tak ada. Melainkan terjadi ataukah tak terjadi. Kalau engkau bersujud, dalam sembahyang maupun dalam setiap pekerjaanmu, maka terjadilah ia. Adapun bangunan, itu tinggal benda ....”
    Kali ini aku terpaksa memotongnya. Aku katakan kepadanya bahwa derajatku terlampau rendah untuk diajak berbicara oleh seorang—yang barangkali—Sufi seperti dia.
    Dia malah tertawa keras bagai seorang pemabuk, “Aku bukan sufi!”—katanya—“Sufi itu omong kosong. Kuminta kau jangan ganggu aku dengan merek dagang apa pun. Aku tak bernama. Aku sudah tak bernama. Aku tak ada. Kau jangan gila. Bagaimana mungkin aku ada. Aku tak punya kemungkinan untuk mengada. Aku tak punya kesanggupan untuk ada. Aku hanya diadakan. Oleh karena itu, sesungguhnya tak ada ....”
    1988
     

    Tentang Emha Ainun Nadjib

    Emha Ainun Nadjib

    Emha Ainun Nadjib lahir di Jombang, Jatim, 27 Mei 1953. Dia adalah seorang budayawan multitalenta: penyair, esais, pegiat teater, pemusik, dan lain-lain. Sebagai seorang penulis, Emha sangat produktif, telah menghasilkan puluhan buku. Di antara karya-karya emasnya yang diterbitkan Mizan adalah Dari Pojok Sejarah (1985), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990), Secangkir Kopi Jon Pakir (1992), Markesot Bertutur (1993), Markesot Bertutur Lagi (1994), dan Slilit sang Kiai (2019). Selain berkiprah di dunia tulis-menulis, Emha juga merupakan motor penggerak di balik kelompok musik Kiai Kanjeng dan pengajian komunitas Jamaah Maiyah yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.




    Keunggulan Buku

    Penulis:
    Dikenal pula dengan panggilan Cak Nun adalah tokoh seniman, budayawan, penyair, dan pemikir yang menularkan gagasannya melalui tulisan-tulisannya. Dalam kesehariannya, Emha terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensi rakyat. Kegiatan lengkapnya bisa ditemukan lewat https://www.caknun.com/

    Isi Buku:
    - Gaya bertutur yang memberikan keasyikan tersendiri.
    - Pola ungkap dan idiom-­idiom yang digunakan, bahkan keseluruhan substansi dan bentukannya orientatif dan kontekstual ter­hadap alam kehidupan
    - Tema yang abadi.
    - Proisi yang mencuatkan kepekaan dan kedalaman pemikiran seorang seniman dalam menangkap ayat-ayat Tuhan.

    Menjelma Cinta
    Muhammadkan Hamba Ya Rabbi
    Ditanyakan kepadanya 
    Ambil Si Penari, untukku Tariannya
    Tahajjud Cintaku
    Tuhan Sayang Ya Tuhan Sayang
    Pembunuh dan Penyembelih
    Syair Candu 1 
    Syair Candu 2 
    Syair Candu 3 
    Syair Candu 4 
    Syair Candu 5 
    Syair Candu 6 
    Doa Fakir 
    Debu 
    Air Kemuliaan 
    Begitu Engkau Bersujud

    Menangis
    Ketika Engkau Bersembahyang
    Memecah Mengutuhkan
    Pengasih Penyayang
    Pribadi dan Diri
    Syair Penjual Kacang
    Syair Tukang Bakso 
    Esa
    Hujan
    Kambing
    Ragi
    Madu 
    Dengan Mata Allah
    Cara Berbahagia dan Teknik Menderita
    Di Zawiyyah Sebuah Masjid
    Doa Pesakitan 
    Terbelah
    Kita Masuki Pasar Riba
    Tuhan Sudah Sangat Populer
    Syair Berhala 
    Sajak Orangtua Seribu
    Hijrah 
    Membaca dan Selimut 
    Haru Biru Kekasihku 
    Anak-Anak yang Diyatimkan
    Tingkat Ketelitian 
    Tiga Penggembala 
    Dirimu di Alam 
    Hal Pendekar 
    Para Ilmuwan Peneliti Kelembutan
    Seribu Masjid Satu Jumlahnya
    Fitri 
    Negeri Kaum Beribadah 
    Aku Masjid

    Resensi

    Spesifikasi Produk

    SKU UA-242
    ISBN 978-602-441-119-0
    Berat 180 Gram
    Dimensi (P/L/T) 14 Cm / 21 Cm/ 0 Cm
    Halaman 196
    Jenis Cover Soft Cover

    Produk Emha Ainun Nadjib

















    Produk Rekomendasi